Beredar Telegram Larangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Soal Penyebaran Tindak Kekerasan Oknum Kepolisian

banner 160x600

riaubertuah.id

Jakarta, forletnews.com - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melarang media menayangkan tindakan kekerasan dan arogansi anggota kepolisian. Larangan itu disebarkan melalui Surat Telegram (ST) di lingkungan Polri. Telegram tentang pedoman pelaksanaan peliputan yang bermuatan arogansi kepolisian dan kekerasan itu bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh menyatakan media harus memberitakan objektif sesuai fakta. “Prinsip dasarnya kita harus menyampaikan secara objektif, objektif menjadi kata kunci tapi tetap berpegang pada kode etik jurnalistik,” kata M.Nuh kepada Liputan6.com, Selasa (6/4/2021).

mantan Mendikbud ini menyatakan apabila ada tindakan kekerasan dan arogansi, maka media tetap bisa memberitakan selama hal itu adalah fakta. Ia menyarankan apabila tidak mau ada berita kekerasan polisi, maka kepolisian tidak seharusnya melakukan kekerasan atau arogansi.

“Kalau ingin tidak disampaikan ada kekerasan, ada arogansi ya jangan lakukan kekerasan dan arogansi. Nah kalau tidak ada kekerasan, tapi media beritakan ada kekerasan kan itu medianya salah, medianya dihukum,” tegasnya.

“Tapi kalau dia melakukan kekerasan ya harus disampaikan. Tapi tetap pakai kode etik jurnalistik,” Nuh menambahkan.Nuh menilai larangan itu akan membuat media tidak pintar dan tidak berbeda dengan hoaks.

“(Larangan) Bikin enggak pintar. Jadi Kalau halal sampaikan halal, haram ya haram. Kalau enggak, kan jadi berita bohong, apa bedanya (berita) dengan hoaks,” tandasnya. Adapun sebelumnya, dalam telegram itu terdapat beberapa poin, salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang arogan dan berbau kekerasan.

Pertama, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menanyangkan kegiatan kepolisian yang tegas namun humanis.

Kedua, tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian dan penyidik terhadap tersangka tindak pidana.

Ketiga, tidak menayangkan secara terperinci rekonstruksi yang dilakukan oleh kepolisian.

Keempat, tidak memberitakan secara terperinci reka ulang kejahatan meskipun bersumber dari pejabat kepolisian yang berwenang dan/atau fakta pengadilan.

Kelima, tidak menayangkan reka ulang pemerkosaan dan/atau kejahatan seksual.

Keenam, menyamarkan gambar wajah dan identitas korban, kejahatan seksualdan keluarga, serta orangtua diduga pelaku kejahatan seksual dan keluarganya.

Ketujuh, menyamarkan gambar wajah dan identitas pelaku, korban dan keluarga pelaku kejahatan yang pelaku maupun korbannya yaitu anak di bawah umur.

Kedelapan, tidak menayangkan secara eksplisit dan terperinci adegan dan/atau reka ulang buuh diri serta menyampaikan identitas pelaku.

Sembilan, tidak menayangkan adegan tawuran atau perkelahian secara detail dan berulang-ulang.

Sepuluh, dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten.

Sebelas, tidak menampilkan gambaran eksplisit dan terperinci tentang cara membuat dan mengaftikan bahan peledak.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengungkap, pihaknya menerima aduan masyarakat paling banyak terhadap kepolisian dalam lima tahun terakhir.

"Kalau kita lihat statistiknya yang paling banyak diadukan kepolisian RI, yang kedua korporasi, yang ketiga pemerintah daerah," kata Ahmad dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Selasa (6/4).

"Kemudian tentu saja ada lembaga peradilan, pemerintah pusat dalam hal ini beberapa kementerian terkait," jelasnya.

Ahmad menjelaskan, kepolisian paling banyak diadukan karena anggotanya dilaporkan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia karena dianggap tidak sesuai prosedur dalam penegakan hukum. Atau karena diduga melakukan pelanggaran HAM.

"Kepolisian baik karena ada kasus yang memang menurut aduan itu dilakukan oleh aparat kepolisian maupun karena ada pihak lain yang diduga atau dituduh oleh pihak pengadu sebagai pelanggaran hak asasi manusia ke pihak kepolisian dianggap tidak proper menangani penegakan hukumnya," jelasnya.

Sebab itu, Komnas HAM meminta kepolisian RI memperhatikan temuan ini agar mendapat kepercayaan masyarakat dan menegakan prinsip hak asasi manusia.

Ahmad juga mengungkap, dalam lima tahun terakhir ada total 28.305 aduan yang masuk ke Komnas HAM. Sekitar 9.000 tidak dilanjutkan setelah diseleksi karena hanya berupa tembusan.

"Ada 14.363 aduan yang diteruskan yang masuk ke dalam dukungan pematuan penyelidikan itu 4.536 kasus, kemudian ada 3.400an kasus yang kami masukan ke dalam dukungan mediasi," jelas Ahmad.

 

 

 

sumber : liputan6.com