Jakarta- Forletnews.com- 15/04/2021 – Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama 2020 mencapai Rp 56,7 triliun dan kerugian atas kasus suap sebesar Rp 322 miliar.
Sementara, pidana pengganti yang dijatuhkan kepada para terpidana korupsi hanya sebesar Rp 19,6 triliun, dengan total nilai denda sebesar Rp 156 miliar. Ada gap yang tak seimbang antara kerugian negara dengan uang yang kembali atas penindakan kasus korupsi di Indonesia.
Ada 1.298 Terdakwa Kasus Korupsi, Kerugian Negara Rp 56,7 Triliun Selain itu, penggunaan hukuman badan atau kurungan penjara pada para koruptor juga terbilang rendah. Dari 1.298 terdakwa kasus korupsi di tahun 2020, ICW mencatat rata-rata vonis yang diberikan majelis hakim hanya 3 tahun dan 1 bulan.
Berkaca pada temuan tersebut, urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana yang hanya menjadi wacana sejak 2012 perlu digaungkan kembali. RUU ini dinilai dapat menjadi jalan baru untuk mendukung upaya pencegahan dan penguatan pemberantasan korupsi.
Menindak semua kejahatan ekonomi Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengatakan, RUU Perampasan Aset bisa digunakan untuk menindak semua kejahatan ekonomi, bukan hanya kejahatan korupsi.
Kejahatan ekonomi, selain kasus korupsi, yakni terkait narkoba, penipuan, kejahatan perbankan, kejahatan dalam pasar modal, hingga penebangan hutan ilegal.
Dian menilai, dampak dari implementasi RUU Perampasan Aset akan berdampak pada perekonomian bangsa. Mulai dari konteks pertumbuhan ekonomi hingga proses pembuatan keputusan atau kebijakan strategis.
“Kalau kita berhasil memberantas tindak pidana ekonomi secara efektif ini jelas akan membantu pertumbuhan ekonomi kita, membantu juga kesejahteraan rakyat dan lain sebagainya,” ujar Dian, Jumat (9/4/2021).
Macet di Parlemen Desakan publik terkait pengesahan RUU Perampasan Aset belum direspons secara maksimal oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan aset tidak masuk daftar 33 RUU Prolegnas Prioritas yang disahkan pada Rapat Paripurna, 23 Maret 2021 lalu dan hanya masuk program prolegnas 2020-2024. Kendati demikian, beberapa fraksi telah menyatakan dukungan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas, antara lain Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PAN dan Nasdem.
Prioritas Anggota Komisi III dari Fraksi PPP Arsul Sani menyatakan fraksinya mendorong RUU Perampasan Aset segera dibahas melalui evaluasi Prolegnas Prioritas pertengahan tahun ini. “PPP
Berharap agar dalam evaluasi Prolegnas Prioritas pertengahan tahun ini, maka RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa didorong masuk dalam RUU yang akan dibahas tahun ini,” ujar Arsul saat dihubungi. “Setidak-tidaknya pada tahun 2022 pemerintah dan DPR harus sepakat menempatkannya dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022,” sambung dia.
Sikap pemerintah dipertanyakan Peneliti Formappi Lucius Karus mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dalam Prolegnas Prioritas 2021. Padahal RUU tersebut, sambung Lucius, dibutuhkan pemerintah untuk mengembalikan jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.
Lucius menilai, dengan adanya UU Perampasan Aset Tindak Pidana, pemerintah sebenarnya tidak perlu membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Pembentukan Satgas untuk memburu aset BLBI hanyalah salah satu pengakuan (pemerintah) akan pentingnya RUU Perampasan Aset. Jika RUU Perampasan Aset mau dibahas dan disahkan secepatnya, maka pemerintah tak perlu repot-repot membentuk Satgas khusus untuk BLBI ini,” ucap Lucius, Rabu (14/4/2021).
Lucius menegaskan, sikap pemerintah dan DPR yang sama-sama tidak memperjuangkan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. Hal ini menunjukan lemahnya semangat pemberantasan korupsi.
“Kegagalan mengupayakan pengesahan RUU Perampasan Aset ini adalah bukti lemahnya semangat pemberantasan korupsi, atau bukti bahwa korupsi ini masih menjadi andalan elite untuk mendapatkan keuntungan,” ucap Lucius.
Secara terpisah, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya sudah tidak memercayai komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. “Sejak awal ICW sudah tidak menaruh kepercayaan lagi padap emerintah akan komitmennya terhadap isu pemberantasan korupsi. Ada banyak suplemen pemberantasan korupsi yang tidak ditindaklanjuti melalui proses legislasi, salah satunya RUU Perampasan Aset,” ujar Kurnia.
Kurnia menjelaskan, jika disahkan, RUU tersebut memungkinkan aset yang didapatkan masyarakat dari hasil kejahatan dapat dirampas oleh negara tanpa mekanisme pemidanaan pelaku. Dengan demikian, RUU ini tidak hanya dapat dilakukan untuk penindakan, namun juga menjadi peringatan untuk masyarakat agar tidak korupsi.
“Padahal RUU itu memberikan sinyal kuat kepada masyarakat agar menjauhi praktik korupsi. Sebab, nantinya aset yang dihasilkan dari kejahatan itu dapat dirampas oleh negara, tanmpa melalui mekanisme pemidanaan pelaku,” pungkas Kurnia
Sumber : Kompas